Kali ini gue mau nulis soal pernikahan, (Yha I know harusnya gue nulis tulisan Singapore Trip Part 2 but hell I can't wait to write this issue) gue menggunakan bahasa Indonesia yang gue harapkan pesannya bisa sampe ke kalian, anggap aja gue teman kalian yang lagi gemez meletup-letup mau cerita.
Tulisan ini terinspirasi oleh pernikahan dari salah satu sahabat pacar gue, yang dengan budget kecil, tanpa wedding organizer, hanya dengan bantuan sahabat, kerabat dekat, dan beberapa teman, pernikahan ini terlaksana dengan 'hangat', intim, nyaman, dan sangat mengharukan. Iya, meskipun pada saat itu baru kali keduanya gue ketemu mempelai perempuan dan lelaki, yang berarti gue secara personal belum memiliki hubungan dekat dengan mereka, pun, dapat sangat terharu atas pernikahan tersebut.
Singkat cerita, gue datang bersama pacar ke acara pernikahan tersebut dengan dresscode yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh panitia, yaitu pakaian dengan warna hitam dan baju yang cenderung casual. Setelah gue nanya rinci soal gue-mesti-pake-baju-apa-stuff ke salah satu panitianya, dia cuma jawab "gue aja pake sandal, kok, Sha." emm.. okay.. Mungkin juga ini kali pertamanya gue datang ke pernikahan dengan konsep casual wedding, jadi gue takut salah kostum, khan~ (BRB buying Sandals Swallow. Not.)
Dan bener aja, lokasi pernikahannya outdoor dan sangat santai tapi tetep kece. Ngga kaku, tapi tetep nyaman.
"Aku rasa nikah harusnya emang gini aja ngga, sih." cerita gue ke pacar, (bukan kode, or well.. maybe a bit.) Karena pernikahan di kota besar seperti Jakarta ini menurut gue ridiculously mahallll banget. Ini bukan bahas soal mampu atau tidaknya gue, atau siapapun calon suami gue untuk membiayai biaya pernikahan ratusan juta, nope at all. Untuk beberapa orang terdekat gue bakal tau bahwa gue tipe orang yang ngga masalah dengan biaya, ASAL apa yang gue dapat memang sepadan. ASAL gue bisa enjoy dan happy dengan uang tersebut. Mungkin terdengar egois.. bisa jadi. (LAH) (KAN EMANG PAKE DUIT GUE, EGO)
Ambil contoh, jika gue harus mengeluarkan uang IDR 300 juta, gue akan memilih untuk membeli mobil favorit gue yang nyaman, aman, dan dengan warna kesukaan gue. Gue bisa nikmatin saat gue pergi ke luar rumah pake mobil, gue happy. Sisanya bisa untuk investasi, jelas tujuannya masa depan biar gue ngga kere-kere amat nantinya. Gue untung. Atau, gue pake untuk jalan-jalan ke luar negeri, dan keliling Indonesia, astaga, pastinya gue girang happy bahagia senang ha ha ha. Tas? Jam tangan mahal? Sepatu? sebut.
Tapi untuk pesta pernikahan yang gue harus susah-susahan pake buntelan rambut di kepala gue, durasi waktu berjam-jam, dengan hal yang bikin gue stress mampus berbulan-bulan sebelumnya karena persiapan ini itu, plus orang-orang yang datang rame banget bikin pusing dan banyak yang ngga gue kenal, tapi gue harus senyum meringis tekuk lutut separo and answering "makasih ya.. makasih.. makasih lho.. Haloo makasih.." gitu terus sampe Edward Cullen baca kalimat Syahadat. Aduh.. Pengen nangis karena puyeng duluan.
Gue sampe bilang "kalo bisa budget nikah ngga perlu dialokasikan ke resepsi. Jadi abis KUA, langsung Belah Duren ke Maldives, terus lanjut Jepang, China, abis itu muterin Eropa". Awesome, kan? Bulan madu bikin lo happy, kalo mau pamer juga tinggal atur, bisa belajar banyak, pengalaman juga seru, otak jadi fresh ngga liat Kopaja terus di Jakarta.
(Tapi gue boleh laaaah cincin nikah berlian mahal gitu. Ihiy!)
Atau ini masalah mental gue yang belum siap soal pernikahan? Maybe yes.. maybe no..
Tapi serius, buat gue pernikahan kan masih puuuuaaannnjanggggggg berpuluh-puluh tahunnnnnn bersamaaaaaa dengan masalah (dan jelas kebahagiaan) yang segudangggggggg. Jadi kenapa ngga simpen tenaga buat nanti aja daripada sekedar untuk resepsi?
Orang tua gue kebetulan punya sejarah pernikahan yang tidak berhasil. Mereka bercerai saat gue berumur sekitar 5 tahun. Mungkin dari dulu gue sering tahu hal-hal yang seharusnya gue belum tahu. Selain soal fakta-fakta pernikahan mereka yang tidak seindah cerita FTV, pernah suatu ketika gue mendengar curhatan dari seorang wanita berumur 40 tahun, yang baru ia ketahui bahwa suaminya memiliki anak hasil hubungan gelap bersama perempuan lain, istri dari anak buahnya. Ada juga teman perempuan yang menikah muda, berhijab Syar'i atas kemauan suami, namun ia baru tahu bahwa suaminya bukan seperti apa yang ia bayangkan, beberapa bulan kemudian bercerai dan kembali pergi ke pantai mengenakan bikini seksi. (Which is I don't mind and I don't care, but... It makes me think real hard about the concept of marriage)
Pernikahan tidak melulu amsyong, tapi juga tidak melulu sparkling.
Kalo bahagianya, siapapun akan dengan mudah menerima, tidak perlu dibahas. Tapi susahnya? Masalahnya? Rintangannya? Biaya sekolah anak yang mahal? Tarif PLN yang naik? Mertua yang mungkin rese? Dll dll?
Ya itu, sih, menurut pendapat gue pribadi.. yang mengambil kesimpulan bahwa nikah itu cuma perlu resepsi santai aja. Kalo pun meriah, gue usahakan orang-orang terdekat saja yang gue undang.
Lalu ada yang bilang ke gue, "tapi tujuannya resepsi gede-gedean kan biar ngga terjadi fitnah kalo nanti pergi berdua atau tinggal serumah, Sha."
*sigh*
Gue ngga masalah kalo harus difitnah zinah, selama di rumah gue punya buku nikah. Sumpah deh, bodo amat gue. Yang penting nyokap bokap gue tahu, keluarga suami gue tau, orang-orang terdekat gue tau dan pastinya TUHAN TAU MENNN kalo gue sudah sah di mata hukum, negara, sama agama. SISANYA SERAHHHH MAU GOSSIPIN GUE PAKE TOA MESJID JUGA ATUR. :)))))
Kalo lo gimana? Punya pandangan lain ngga soal resepsi pernikahan? :D
No comments:
Post a Comment